Malam Terakhir Di Bumi

Malam Terakhir Di BumiBy Joe Crews

Perkenalan

Salah satu ayat paling dramatis dalam Alkitab telah diterjemahkan oleh Dr. Moffett dengan perkataan ini: “ Beginilah firman TUHAN… Lihat, bencana demi bencana akan datang! Kesudahan datang, kesudahanmu tiba, seakan-akan ia terbangun melawan engkau, lihat datangnya! Malapetaka datang atasmu” (Yehezkiel 7:5:7).

Berdasarkan ayat yang mengejutkan ini, perhatian kita diarahkan kepada pekabaran paling serius yang pernah didengar oleh telinga manusia. Itu adalah peringatan bagi tiap manusia di planet ini saat ini, karena setiap individu harus melewati malam terakhir mereka di bumi. Akan seperti apakah hidup dalam 24 jam terakhir?

Mungkin Anda pernah mendengar kota Pompeii yang terletak dalam bayangan gunung Vesuvius di Italia kuno dahulu kala. Pada tahun 79 Masehi gunung itu meletus dengan ledakan vulkaniknya dan jutaan ton lelehan lava menerpa Pompeii dan secara total menghancurkannya, membinasakan semua penghuninya. Seorang teman saya pernah menapaki tanah dan batuan yang masih menyelimuti reruntuhan kota tua yang masih digali itu. Dia menggambarkan liukan postur dari para korban yang bentuknya diawetkan secara sempurna dengan membentuk ruangan di sekitar tubuh mereka yang rungkuh.

Saya sering kali berpikir, “kalau batu dijalanan dapat berbicara, kisah macam apa yang mereka akan ceritakan mengenai malam terakhir di Pompeii tersebut.” Semua hal itu tampaknya terbersit dalam pikiran saya seiring saya merenungkannya saat ini. Pengalaman sebuah kota penuh penduduk, binasa tanpa peringatan dan nasibnya diputuskan untuk kekekalan, entah mereka siap atau tidak. Akan seperti apa itu saat Anda dan saya menghadapi pengalaman yang sama? Akankah itu menemukan kita tetap berpegang pada dosa lama yang banyak dari mereka lakukan saat mereka disapu oleh banjir kematian.

Tidak diragukan banyak orang di Pompeii mendengar ledakan awal itu dan punya waktu untuk menatap terjangan menakutkan dinding lava tersebut sebelum itu menerpa mereka. Kita tidak tahu apa yang ada dalam pikiran mereka, tetapi posisi grafis fisik badan mereka menyatakan bahwa dosa sudah menjadi sesuatu yang populer, dan sedikit kalaupun ada berpikir mengenai kematian atau alam baka.

Saya berpikir apa yang dirasakan Paulus saat dia mengkhotbahkan injil kasih karunianya kepada para penduduk Pompeii. Tentunya dalam perjalanannya melewati kota-kota besar di kekaisaran Romawi dia akan mengunjungi pusat kebobrokan dan kejahatan itu. Akan tetapi sangat kecil bagi si rasul untuk memperoleh pendengar yang baik dari para penghuni kota pelabuhan penuh dosa itu. Mungkin mereka mengusir dia, dan Paulus harus mengebaskan debu dari kakinya saat dia pergi.

Adalah dari Pompeii lah jendral Titus merekrut banyak pasukannya untuk pembantaiannya di Yerusalem pada tahun 70 Masehi. Mungkin adalah salah satu warga Pompeii yang melemparkan obornya yang menyala yang membakar bait megah itu sampai fondasinya.

Tetapi kemudian para veteran perang tersebut telah kembali ke kampong halamannya untuk hidup di masa pensiunnya dalam pemanjaan yang tidak terbatas. Perlahan cawan dosa penuh sampai bibirnya, dan pada suatu malam dengan pesta pora dan kemabukan yang tidak biasa, malaikat kematian terbang rendah di jalanan Pompeii. Adalah tidak sukar untuk membayangkan bagaimana panggilan terakhir Tuhan diberikan kepada setiap pria, perempuan dan anak-anak pada malam terakhir itu. Sebelum malaikat pengampunan melipat sayapnya, Roh Kudus mengetuk setiap pintu hati. Jauh setelah music dan tarian berakhir, orang-orang terlempar ke tempat tidurnya, bergumul dengan kuasa kesadaran yang meyakinkan, tetapi satu demi satu kesan panggilan lembut tersebut ditekan dan ditolak. Suara Roh Kudus tenggelam oleh kebisikan kedagingan untuk keplesiran dan dosa yang lebih lagi. Takdir Pompeii dimateraikan.

Berlambat-lambat Menjawab Panggilan

Alkitab memberikan pada kita ilustrasi menyolok lainnya mengenai malam terakhir di bumi dalam kitab Kejadian. Sebuah kota akan dibinasakan karena ia berpaling sepenuhnya kepada dosa. Pada malam kehancurannya, Lot mengunjungi putri-putrinya dan suami mereka yang adalah orang Sodom yang telah mendirikan rumahnya di tengah kota yang akan dibinasakan tersebut. Tetapi permohonannya itu diolok-olok sebagai ketakutan tanpa dasar. Alkitab mencatatkan bahwa “oleh kedua bakal menantunya itu sebagai orang yang berolok-olok saja.” (Kejadian 19:14). Mereka sebenarnya menertawakan orang tua itu seiring dia menangisi ketidakpedulian mereka. Betapa berbedanya hal itu kalau mereka mengetahui bahwa itu sungguh sebuah pekabaran penghakiman dari Tuhan. Dengan penuh semangat mereka akan menanggapinya dan bergegas keluar dari Sodom, apabila mereka percaya itu adalah malam terakhir mereka di muka bumi.

Tetapi mereka tidak mengetahuinya, dan mereka tidak mempercayainya. Banyak dari kita tidak akan mengetahui kapan momen fatal itu akan mendekati hidup kita sendiri. Banyak yang celaka oleh karena kecelakaan mendadak dan kematian tanpa sebuah peringatan kedua, kurang dari 24 jam peringatan. Tetapi andaikan Anda memang tahu bahwa Anda hanya memiliki dua bulan, atau dua minggu, atau dua hari. Saya telah mendengar orang-orang mengatakan, “oh kalau saja saya tahu itu sebelumnya, saya dapat dengan mudah meninggalkan semua kebiasaan buruk saya dan membuat keputusan untuk mengikuti Kristus sepenuhnya.“ Tentu saja, tetapi kebenarannya adalah tidak ada di antara kita yang berkesempatan memperoleh informasi tersebut, dan untuk banyak orang yang membaca tulisan ini, malam terakhir itu jauh lebih dekat dari apa yang dapat kita pikirkan atau bayangkan.

Betapa pandainya Setan memanfaatkan area pribadi yang tidak diketahui dari tiap kita. Dia tahu jelas bahwa penundaan adalah senjatanya yang paling efektif untuk menyebabkan orang-orang tidak dapat diselamatkan. Semakin lama keputusan ditunda, semakin mudah untuk menunda, sampai akhirnya proses itu terabaikan menjadi sebuah kecanduan fatal. Kemauan menjadi semakin lemah seiring penundaan menemani inisiatif, dan membuat kemungkinannya semakin berkurang untuk individu tersebut bertindak sebelum terlambat.

Alkitab memiliki beberapa hal yang penuh hikmat untuk disampaikan mengenai topik berlambat-lambat menjawab panggilan Tuhan ini. Saat Paulus berbicara dengan Felix mengenai kebenaran dan penghakiman, kita diberitahu bahwa gubernur tersebut gentar dan berjanji untuk bertemu lagi dengan Paulus saat dia punya sebuah “kesempatan baik.” Kesempatan yang lebih baik itu tidak pernah datang, dan sejauh yang kita ketahui Felix mati tanpa Kristus di akhir hidupnya. Raja Agrippa juga sangat teryakinkan saat dia mendengarkan kesaksian Paulus mengenai Kristus. Dia berseru, “Hampir-hampir saja kau yakinkan aku menjadi orang Kristen!" (Kisah Para Rasul 26:28). Sungguh sebuah tragedi dengan adanya keyakinan dan kegentaran tersebut, tiada dari kedua pemimpin Romawi tersebut tergerak untuk menuruti apa yang mereka tahu benar. “Hampir” tidaklah cukup.

Itu terkadang adalah kasusnya di mana individu-individu berhadapan dengan pilihan yang harus dibuat dalam beberapa menit yang akan mempengaruhi keseluruhan arah masa depan mereka. Dalam kesempatan yang langka ini (dan mungkin mereka tidak selangka yang kita pikirkan) momen emas kesempatan itu masuk menjadi fokus, hanya berdiam beberapa saat berharga saja, lalu menghilang selamanya. Tampaknya terlihat sungguh benar bahwa Felix dan Agrippa menghadapi kesempatan yang paling penting dan menguntungkan untuk memilih hidup daripada mati, dan mereka melewatkannya. Mereka menunggu terlalu lama dan keyakinan mereka sirna serta menghilang.

Para pria dan wanita melakukan hal yang sama saat ini. Mereka menunggu adanya saat yang lebih baik – sebuah pekerjaan yang berbeda, pensiun, atau keamanan financial. Mereka membuat janji bagi diri mereka sendiri dan orang lain bahwa mereka akan menyerahkan diri kepada Kristus dan menuruti kebenaran segera setelah waktunya tepat. Seorang yang lain – Setan – mendengar janji itu dan segera dia memanipulasi peristiwa yang akan membuat momen tersebut mungkin mustahil terjadi. Orang-orang tersebut terus menunggu dan menunggu, dan banyak dari mereka akan menunggu hingga air menjadi darah dan pintu kasihan tertutup bagi manusia. Maka tidaklah heran kalau Alkitab menyatakan bahwa “Sesungguhnya, waktu ini adalah waktu perkenanan itu; sesungguhnya, hari ini adalah hari penyelamatan itu.”

Saat air bah datang dan pintu bahtera tertutup, tidak peduli betapa dekat atau jauhnya seseorang pada saat itu. Mereka yang satu kakinya berada di luar sama tersesatnya dengan mereka yang jauhnya bermil-mil. Setelah 120 tahun memberikan panggilan, Roh Tuhan ditarik dari bumi, tangan Tuhan menutup pintu bahtera, dan nasib dunia ditetapkan dan ditentukan. Apakah itu berhubungan dengan apa yang sedang dialami oleh keturunan delapan orang yang selamat itu saat ini? Sudah barang tentu. Karena Yesus berkata, “"Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia.”

Kristus merujuk pada akhir zaman yang mana kita hidup saat ini. Dia berkata, “demikian pula halnya.” Apakah ada kesamaan dengan budaya dan gaya hidup para pendahulu itu? Kita diberitahu bahwa “setiap imajinasi pikiran mereka hanya kejahatan setiap saat.” (Kejadian 6:5). Apakah penilaian keadaan manusia sebelum air bah sesuai dengan gambaran jahat keturunan Nuh yang modern?

Untuk menjawab pertanyaan itu lihatlah surat kabar pagi dan berita TV. Dosa merajalela. Kriminalitas di luar kendali. Terorisme terjadi di tempat yang tidak terduga. Tidak satu orangpun akan mempertanyakan bahwa imajinasi jahat menandai zaman ini dengan panen kekerasan dan pelanggaran hukumnya.

Apakah juga ada bukti bahwa Roh Kudus bergumul dengan hati manusia dan berkonfrontasi dengan kerumunan akan undangan rahmat terakhir mereka? Sebagai seorang penginjil, saya dapat bersaksi bahwa ada sebuah pertikaian yang terjadi menyangkut setiap jiwa. Beberapa yang membaca perkataan ini ada di ujung penentuan sebuah keputusan yang dapat berarti kehidupan atau kematian, dan pada kesempatan yang sama, Setan bermain-main atas rasa takut Anda yang tanpa dasar untuk mencoba menunda Anda dari memberikan komitmen penuh. Anda sedang digoda seperti halnya Felix, untuk menunggu kesempatan yang lebih baik, tetapi hal itu tidak pernah datang. Untuk berlambat-lambat saat ini adalah untuk menjadi bagian dari mayoritas besar yang binasa dalam air bah dan menandai mereka yang tidak akan bersiap untuk kedatangan Yesus yang kedua.

Tepat di Tepi Sungai Yordan

Pikirkan sejenak apa yang akan terjadi di sungai Yordan bila para imam ragu-ragu untuk maju sesuai kehendak Tuhan. Sungai Yordan sedang meluap (Yoshua 3:15), dan arus airnya yang mengamuk telah menggenangi pinggirannya dan mengamuk. Derasnya arus air tersebut terdengar keras.

Tetapi 40 tahun di padang gurun sudah berlalu dan sesuai perintah Tuhan, Yoshua memberitahu para imam untuk membawa jutaan orang tersebut menyebrangi sungai Yordan dan bersiap untuk memperoleh tanah Kanaan.

Mereka harus melangkahkan kaki pada arus air yang mengamuk itu dan mempercayai bahwa Tuhan akan melindungi umat-Nya. Kalau-kalau imam itu memaksa untuk mengadakan rapat majelis untuk mendiskusikan perintah radikal untuk seluruh perkemahan maju kepada sesuatu yang nampaknya jebakan mematikan. Orang-orang sudah terkesima melihat deru arus air. Keraguan di pihak para imam dapat menyebabkan orang-orang menjadi panik dan menolak melangkah maju. Semuanya dipertaruhkan. Orang-orang Kanaan menyaksikan. Apabila ada tanda-tanda ketakutan di sini dapat mendorong mereka untuk menyerang umat Tuhan.

Saat para imam sampai ke tepian air, itu tidaklah terbelah. Tampak menjadi tindakan bunuh diri untuk melangkah masuk dalam arus air berbahaya itu. Tetapi para imam terus melangkah sampai mereka mencelupkan dirinya dalam air (Yosua 3:15). Maka air itu langsung berhenti mengalir, dan seluruh bangsa pergi menyebrangi Kanaan di tanah yang kering.

Apakah Anda berdiri di tepian sungai Yordan yang mengalir deras saat ini? Ada 1.000 alasan lebih mengapa itu tampak bodoh bagi Anda untuk membuat sebuah keputusan untuk melangkah maju. Itu menandakan sebuah penyerahan penuh dari seluruh hidup dan sebuah kemauan untuk melangkah maju dalam ketaatan – tidak peduli apapun konsekuensinya. Itu tidaklah mudah. Apakah Anda mengatakan, “bukalah jalan, maka saya akan bergerak”? Tetapi rencana Tuhan adalah sebaliknya. Dia berkata, “melangkahlah maju dan Aku akan buka jalan” (Matius 6:33). Mukjizat muncul saat kita bergerak maju dengan iman.

Saya bersukacita orang yang ada di baris kepemimpinan mempunyai iman yang kuat saat Musa memberikan perintah untuk melangkah maju ke arah laut, dan pasti seperti air itu terbelah di bawah kaki mereka, demikian juga situasi yang tidak mengizinkan itu akan menghilang seiring umat Tuhan saat ini maju dalam penurutan kepada-Nya. Adalah menarik untuk dicatat bahwa pergerakkan selanjutnya adalah tergantung orang-orang pada zaman Musa, dan adalah sama benarnya bagi mereka yang baru lepas dari perhambaan rohani. Tuhan tidak dapat dan tidak akan membuat keputusan bagi kita, tetapi langsung setelah kita mengambil langkah pertama dalam penurutan, Ia akan memenuhi kita dengan kuasa untuk mengatasi setiap rintangan.

Beberapa mungkin menganggap saya terlalu keras menekankan ini pada mereka yang berlambat-lambat dalam senja zona kebimbangan. Anda mungkin tersinggung oleh dorongan saya yang kuat bagi Anda untuk bertindak segera untuk mengikuti Yesus. Tetapi tolong ingatlah bahwa saya berbicara kepada mereka yang mungkin hidup pada malam terakhir mereka di bumi. Saya tidak percaya itu mungkin untuk menuruti Tuhan terlalu cepat, dan saya merasa bahwa tidak ada orang yang akan pernah menyalahkan saya di surga karena saya membuat panggilan mereka menjadi jelas, ringkas dan segera dilakukan. Saya bersungguh-sungguh dalam hal ini, karena saya telah melihat akibat dari menunggu terlalu lama.

Saya dapat penuhi buku ini dengan kisah emosional dari mereka yang menunda penyerahan diri mereka sampai akhirnya perasaan mereka menjadi dingin dan tidak bereaksi. Lebih jauh lagi, saya dapat menyebutkan nama dan tempat di mana orang yang datang tiap malam dari seri KKR meninggal karena kecelakaan tiba-tiba atau kematian. Kesempatan demi kesempatan saya selalu membuat panggilan untuk mengambil keputusan, tidak mengetahui bahwa ada orang-orang sedang mendengarkan panggilan terakhir mereka untuk boleh diselamatkan.

Mengapa Begitu Sedikit?

Tetapi mengapa begitu sedikit yang merespon pada panggilan penyerahan diri itu? Mengapa setiap orang perlu dimohon-mohon untuk masuk dalam keselamatan mulia Tuhan kita? Saya ingin menjawab pertanyaan itu dengan cara yang Anda tidak akan pernah lupakan. Bahkan Yesus sendiri mengkonfirmasi bahwa hanya akan sedikit yang bersedia untuk mengikuti jalan sempit menuju ke surga. Mayoritas orang akan memilih jalan lebar menuju kematian.

Lalu kita mempunyai pernyataan mengejutkan dari Guru Besar yang mana kita telah rujuk barusan: “Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia” (Matius 24:37). Berapa banyak yang diselamatkan pada hari bencana global itu? Cuma delapan orang yang memiliki iman dalam Firman Tuhan untuk berada dalam bahtera aneh itu. Hanya mereka satu-satunya yang selamat. Akankah ada jumlah yang sebanding diselamatkan “kelak pada kedatangan Anak Manusia”? Semua setuju bahwa ini berbicara mengenai akhir dunia dan kedatangan kembali Yesus.

Saya telah mendengar pernyataan, “Oh, kalau saja saya hidup pada zaman itu, saya akan masuk dalam bahtera bersama dengan Nuh yang setia.” Betapa mudahnya untuk mengatakan apa yang akan kita lakukan dalam beberapa kondisi di masa lalu. Banyak yang lainnya berbicara mengenai martir-martir yang mulia yang mati demi iman mereka selama abad kegelapan dan telah menyatakan dengan jaminan besar bahwa mereka akan dengan senang hati meletakkan nyawa mereka demi kebenaran juga.

Jadi mungkin benar bahwa beberapa bersedia mati demi iman mereka, tetapi hanya sedikit yang memiliki konsepsi apa itu artinya untuk berdiri di pihak Tuhan pada saat hari mengerikan itu. Pria dan wanita pemberani itu dibakar di tiang bakaran, dilemparkan untuk dimakan binatang buas, atau disiksa dalam penjara abad pertengahan dapat menyelamatkan diri mereka dengan gerakan tangan yang sederhana. Dalam banyak kasus mereka ditawarkan amnesti dan kebebasan langsung kalau mereka memberi tanda ingin menyangkal iman mereka. Jadi pilihannya sangat jelas seiring mereka melihat kayu-kayu kering ditumpuk di sekitar mereka. Mereka juga mengalami tercekik di tengah asap dan api hukuman itu atau dapat memilih kembali kepada rumah dan keluarga yang nyaman. Jutaan orang yang tidak dikenal memilih kepahlawanan tetapi cara kematian mengerikan daripada menyangkal Juru Selamat mereka.

Berapa banyak orang Kristen yang kalian kenal yang punya pengorbanan diri penuh iman dan kasih seperti itu? Siapa saja yang akan mengikuti jejak para martir menuju tiang bakaran atau dilemparkan arena? Beberapa mungkin, kalau mereka hidup di zaman itu. Tetapi satu hal yang pasti: Hanya mereka yang lebih memilih mati saat ini daripada melanggar perintah Tuhan yang kudus yang akan terbukti setia pada Dia selama tahun-tahun penganiayaan mengerikan tersebut.

Sayangnya kita hidup pada zaman yang mudah dan penuh kebebasan di mana penyangkalan diri itu diputuskan menjadi kuno. Kebenaran telah menjadi dapat dikompromi dalam iklim nyaman oikumene dari agama modern. Pluralisme telah begitu diterima sehingga aplikasi keanggotaan diberikan sebuah jarak luas akan apa yang mereka boleh percayai atau tidak boleh percaya. Sedikit sekali, kalaupun ada, di mana masalah pengajaran dianggap cukup penting untuk dibahas, sampai-sampai merelakan hidup. Akan tetapi ada pengecualian penting tentunya, akan tetapi sering kali ini ditemukan di luar kontur apa yang disebut Kekristenan Barat.

Seseorang yang Memberikan Segalanya

Misalnya setiap kali saya mendengarkan orang memberikan alasan untuk tidak menyerahkan semuanya kepada Yesus, saya teringat pada Saddiq. Itu terjadi pada tanggal 25 Desember 1955, pada saat saya menanggapi ketukan keras di pintu rumah saya di Lahore, Pakistan. Seorang warga desa yang mengenakan baju muslim tergesa-gesa datang ke rumah saya, berseru: “Baptiskan saya cepat, baptiskan saya sekarang!” Setelah agak tenang, orang itu mulai menceritakan kisah yang luar biasa. Namanya adalah Saddiq, dan dia tinggal di area suku di celah Khyber dekat perbatasan Afganistan di mana hanya sedikit atau tidak ada kendali pemerintah. Hukum muslim diberlakukan bagi tiap orang yang memiliki sebuah pisau, sebuah kapak atau sebuah pistol.

Saddiq mempunyai pekerjaan yang bagus dan keluarga yang menyenangkan, dan dia juga seorang muslim yang berdoa lima kali menghadap Mekkah. Tetapi belakangan ini dia mulai mendengarkan seorang penginjil yaitu teman saya yang mengadakan pertemuan KKR di daerah itu. Setiap malam sepulang kerjanya menuju rumah, Saddiq akan berdiri di luar dalam kegelapan mendengarkan kebenaran injil yang menggetarkan hati. Dia tidak berani untuk pergi ke dalam karena takut dibunuh sebagai pengkhianat, dan saat panggilan dari mimbar dibuat, Saddiq hanya dapat membuat komitmen dalam hatinya untuk mengikuti Yesus.

Akhirnya dia mengungkapkan kepada istrinya bahwa dia akan menjadi orang Kristen. Besoknya dia pulang dari kerja dan menemukan rumahnya sudah kosong. Ayah mertuanya telah mengambil segalanya dan membawa setiap orang dari rumah. Dia tidak akan pernah melihat istri dan anaknya lagi. Beberapa hari berikutnya dia dipecat dari pekerjaannya, seiring seorang kerabat turut campur melaporkan dia. Lalu dia dikucilkan oleh anggota keluarganya sendiri dan hampir dipukuli sampai mati. Lari demi hidupnya, Saddiq telah datang ke kota Lahore yang padat dan mencari seseorang yang dapat membantunya menyelesaikan perjalanannya keluar dari Islam memasuki Kekristenan. Saya dengan senang hati melayaninya. Kita penuhi keinginannya untuk dibaptis dan menguburkan si pemberani itu dengan Tuhan kita pada Natal siang tersebut.

Saya melihat bekas luka pada tubuh Saddiq saat dia keluar dari air – menandai pengabdian dan pengorbanan yang akan dia bawa sepanjang sisa hidupnya. Dia juga akan menjadi seorang pengungsi dan pelarian dari kemarahan kerabatnya sendiri seumur hidupnya. Sudah menjadi tugas bagi seseorang yang menemukannya untuk membunuh dia.

Saya sering memikirkan Saddiq saat saya mengadakan KKR, dan banyak pendengar telah teryakinkan oleh kebenaran yang sama yang saudara saya Saddiq pelajari di luar tenda itu dulu. Tetapi tidak semua menanggapi dengan cara yang sama seperti halnya dia. Padahal tidak ada dari mereka yang akan mengalami kehilangan anak seumur hidup, ancaman konstan kematian, ataupun penganiayaan fisik yang akan mengikuti Saddiq sepanjang sisa hidupnya di muka bumi. Beberapa diuji dengan kehilangan beberapa dollar dan mungkin beberapa teman. Mereka mundur dan mengeluhkan kesusahan dan pengorbanan yang harus dilakukan dalam membuat keputusan untuk dibaptiskan. Kebenarannya adalah kita tidak tahu apa itu penyangkalan diri yang sebenarnya ataupun pengorbanan. Kecuali kita siap memberikan hidup kita demi kebenaran, kita tidak layak untuk kerajaan Surga.

Kadang kita mendengar seseorang yang bersemangat mengatakan, “kalau saja saya hidup di zaman Yesus, saya akan menjadi salah satu pengikut-Nya.” Tetapi kita tidak tahu apa yang terlibat dalam hubungan terbuka dengan Yesus dari Nazaret? Tidak peduli apapun statusnya, orang-orang diusir dari bait Tuhan segera. Ini artinya mereka diboikot dalam usaha mereka, dicoret dari keluarga mereka, dan dianggap sudah mati oleh semua teman mereka. Akankah beberapa sungguh akan membuat pilihan tersebut kalau mereka hidup di Palestina 2.000 tahun yang lalu? Ya, tetapi hanya mereka yang bersedia untuk mati daripada melakukan dosa pada saat itu akan muncul untuk mengikuti Dia yang tidak dianggap dari Nazaret tersebut.

Dan akankah itu sama pada zaman Nuh? Kita telah mempelajari bahwa hanya delapan orang yang bersedia mengambil resiko ditekan dan dipermalukan oleh karena menjadi seorang anggota gereja kapal Nuh. Berapa banyak orang kudus di zaman modern berani untuk mengambil keputusan di hadapan publik untuk sebuah proyek penuh penghinaan dari membangun sebuah bahtera besar di samping sebuah bukit yang kering? Mungkin tidak ada kelompok agama dalam sejarah dunia yang telah bertahan dari diperlakukan secara negatif daripada Nuh dan keluarganya.

Khotbah Terakhir Nuh

Selalu menarik bagi saya bahwa Nuh mungkin menyewa orang untuk membantu membangun bahtera, dan mereka akhirnya binasa karena mereka menolak satu-satunya sarana keselamatan yang mana mereka investasikan banyak dari hidup mereka. Dan ini adalah orang-orang yang punya alasan terbesar untuk percaya bahwa sebuah air bah akan datang. Hari demi hari mereka mendengarkan pekabaran yang bersemangat dari nabi tua itu seiring dia memohon kepada kerabat dan teman-temannya agar mereka menggunakan sarana ini untuk lolos. Alkitab menyebut Nuh “pemberita kebenaran” (2 Petrus 2:5) yang mengindikasikan bahwa dia meluangkan lebih banyak waktu untuk memanggil pembuatan keputusan daripada menancapkan paku ke bahtera.

Bagaimana kita menjelaskan penolakan hebat dari panggilan Nuh dan anak-anaknya yang dipenuhi Roh Kudus? Itu tampak seakan contoh kuno dari pengaruh mayoritas. Takut untuk menjadi berbeda telah menyebabkan banyak orang-orang yang tulus untuk menolak panggilan kedasaran dan penilaian akan yang benar. Itu terjadi pada zaman Nuh, dan itu masih terjadi saat ini. Prasangka dan emosi sekalinya muncul mempunyai sebuah pengaruh besar pada sebuah keputusan daripada semua kebenaran logis yang ada di dunia. Tidak ada dari orang zaman kuno itu dapat menolak panggilan ajakan dari binatang-binatang yang masuk sepasang-sepasang dan tujuh pasang-tujuh pasang tersebut ke bahtera yang telah jadi, tetapi cemoohan banyak orang mengingatkan mereka akan harga sebuah perbedaan. Mereka tidak berani menjadi berbeda dan menunjukkan dukungan untuk kelompok kecil agama tidak populer yang berani berdiri.

Saya mencoba membayangkan secara dinamis akan panggilan terakhir yang Nuh buat terhadap kerumunan yang melihat dengan penuh rasa ingin tahu tersebut. Suara pembangunan bahtera telah berhenti, dan semua alat-alat telah disingkirkan dari pandangan. Binatang-binatang semuanya telah masuk dalam bahtera, dan keluarga Nuh telah memindahkan semua milik mereka ke bangunan bahtera raksasa yang tanpa jendela tersebut. Dari semua khotbah yang pernah dikhotbahkan dalam sejarah manusia, ini yang mungkin saya pilih untuk dengarkan. Adegan momen ini diulangi oleh Tuhan Yesus saat Ia berkata, “"Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia.” (Matius 24:37).

Panggilan terakhir lainnya – khotbah final lainnya, kalau boleh disebut – akan diberikan kepada para penghuni zaman yang sama jahatnya ini. Kali ini kebinasaan tidak oleh air tetapi oleh api. Tetap ada sebuah paralel luar biasa antara pekabaran mendesak dari Nuh dan dari orang-orang setia yang akan memberikan seruan amaran nyaring bahwa dunia akan segera dibinasakan lagi.

Yesus menggambarkan ketidakpedulian akan bagaimana pekabaran ini akan diterima, “mereka makan dan minum, mereka kawin dan dikawinkan, sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera, lalu datanglah air bah dan membinasakan mereka semua.” (Lukas 17:27). Sungguh sebuah komentar pada efek melumpuhkan dari dosa! Orang-orang terus melanjutkan kegiatan seperti biasa, sementara momen terakhir tertutupnya pintu kasihan terlewatkan.

Adakah seorang pengkhotbah lain melakukannya di bawah stress penuh emosi seperti dialami Nuh pada zaman itu? Dia sadar sepenuhnya bahwa segera pintu di belakangnya akan tertutup selamanya akan pengharapan keselamatan manapun bagi umat manusia. Hanya perkataan dari khotbah terakhir ini yang dapat membuat sebuah perbedaan bagi jiwa hidup manapun. Firman Tuhan mengindikasikan bahwa Kristus lewat Roh Kudus berkhotbah lewat Nuh pada orang-orang yang menjadi tawanan dosa (1 Petrus 3:18,20).

Saya yakin ada serak tangis dalam suara Nuh dan air mata mengalir di pipinya saat dia memohon kepada mereka untuk bergabung dengannya dalam bahtera. Banyak di antara pendengarnya adalah tetangga seumur hidupnya, dan mungkin Nuh bahkan memanggil mereka dengan namanya seiring dia melakukan penggilan terakhirnya. Sebuah panggilan meyakinkan yang serius memukau para pendengarnya untuk terdiam, seiring orang tua itu menyapu air matanya. Lalu muncul kegelisahan besar seiring beberapa mulai melangkah maju seakan hendak bergabung dengan kelompok kecil itu, tetapi mereka segera ditarik kembali oleh tangan kerabat dan teman-temannya.

Saya tidak dapat memahami sepenuhnya perasaan Nuh seiring dia berpaling untuk bergabung dengan keluarganya untuk terakhir kalinya, tetapi saya punya keakraban yang kuat dengan dia dalam panggilan terakhirnya yang penuh kesepian kepada kerumunan. Saya merasakannya setiap kali saya menutup sebuah pertemuan dan memberikan penggilan terakhir. Saya selalu mengenal secara pribadi orang dalam para pendengar itu yang bergumul dengan Roh Tuhan. Mereka percaya bahwa itu kebenaran dan gemetar karena yakin, dan hampir terpanggil untuk maju ke depan. Pasti itulah yang terjadi pada Nuh dan dia berpaling untuk memohon terakhir kalinya. Tetapi akhirnya dia harus menutup pertemuan tersebut dan melangkah, menangis melewati pintu yang terbuka itu. Dan tiba-tiba pintu itu mulai bergerak engselnya, dan dalam beberapa detik itu terayun tertutup disertai suara gebrak.

Ada seruan gugup dari beberapa orang saat pintu itu telah tertutup, dan sebuah celoteh percakapan yang menarik. “Pernahkah kamu dengar sesuatu seperti itu dalam hidupmu?” satu suara muncul di atas suara lainnya. “Apakah kamu pikir dia mungkin saja benar mengenai air bah itu?” tanya yang lainnya. Tetapi lalu muncul sebuah perbedaan pendapat yang tajam, dan beberapa menunjuk ke angkasa yang tidak berawan untuk menegaskan apa yang apa yang telah berulang kali didengar semenjak proyek bahtera tersebut dimulai, “Tidak pernah ada hujan dan orang-orang itu adalah fanatik sehingga bisa percaya kebodohan semacam itu.”

Selama dua sampai tiga hari ketakutan terus mencengkeram komunitas, terutama seiring mereka melewati bahtera yang tertutup rapat itu setiap pagi dalam perjalanannya untuk bekerja. Tetapi lewat pertengahan minggu tampak nyata bagi mereka semua bahwa nubuatan Nuh adalah sepenuhnya salah, dan bahkan mereka yang pernah memiliki keyakinan mendalam dipermalukan oleh kekuatiran mereka yang dulu. Untuk menutupi penyesalan mereka, beberapa dari mereka mulai membuat pernyataan mengejek pada siapapun yang akan mendengarkan. Pada hari yang ketujuh tidak satupun pernyataan simpati ditemukan mendukung keluarga yang dikucilkan tersebut.

Lalu terjadilah! Awan-awan bermunculan entah dari mana, dan tetes air hujan mulai membasahi bumi yang kehausan. Teriakan dan seruan mulai membelah atmosfir seiring pria, wanita dan anak-anak mundur berlindung ke tempat perlindungan yang ada. Tetapi lalu air mengalir deras dari langit, dan dari retakan tanah. Mereka yang mampu berjuang menuju ke tempat yang lebih tinggi dengan segera kalah dan terhanyut kepada kematian mereka, sementara bahtera besar dari kayu cemara itu mengapung dengan perlahan dan tetap aman dalam gelombang yang mengamuk tersebut.

“Dan sama seperti terjadi pada zaman Nuh, demikian pulalah halnya kelak pada hari-hari Anak Manusia” (Lukas 17:26). Segelintir orang beriman dianggap bodoh dan fanatik, tetapi cukup berani untuk mengikuti kebenaran yang tidak populer dan mengumandangkan sebuah peringatan khusus bahwa akhirnya sudah dekat, yang terselamatkan. Pernahkan Anda mendengarnya? Apakah Anda dapat menangkap pelajaran yang Tuhan coba sampaikan dalam khotbah Nuh? “Dan sama seperti… demikian pulalah halnya.” Tidak ada jika atau kalau saja (persyaratan) – “demikian pulalah halnya.” Malam terakhir di bumi akan tiba bagi setiap orang saat langit terbuka lebar, dan rombongan malaikat penuh kemuliaan memberikan sebuah jalan yang gemerlap dari keagungan Raja segala raja, dan Tuhan segala tuhan. Itu tidak akan terduga, dan itu akan terlambat bagi mereka yang menunggu sampai pintu rahmat tertutup.

Berjudi dengan Waktu

Seperti halnya pintu kasihan tertutup bagi orang-orang tersebut tujuh hari sebelum air bah, demikian juga pintu kasihan bagi planet ini akan tertutup dengan tujuh malapetaka sebelum Yesus datang. Selama masa tujuh malapetaka akhir yang membinasakan tersebut, Alkitab mengatakan tidak seorangpun dapat memasuki bait di Surga (Wahyu 15:8). Tidak akan ada pengantara bagi umat manusia. Dekrit besar itu telah dikumandangkan, “ Barangsiapa yang berbuat jahat, biarlah ia terus berbuat jahat; barangsiapa yang cemar, biarlah ia terus cemar; dan barangsiapa yang benar, biarlah ia terus berbuat kebenaran; barangsiapa yang kudus, biarlah ia terus menguduskan dirinya! Sesungguhnya Aku datang segera dan Aku membawa upah-Ku untuk membalaskan kepada setiap orang menurut perbuatannya” (Wahyu 22:11,12).

Jutaan orang menunggu harapan sia-sia bahwa beberapa peristiwa spesial akan menandai agar mereka dapat dengan cepat membuat persiapan yang diperlukan untuk bertemu dengan Tuhan yang datang kembali. Seperti halnya Felix mereka coba memanfaatkan adanya “kesempatan yang lebih baik.” Dan sementara mereka berlambat-lambat, hati mereka menjadi keras dan mereka menjadi bimbang. Mereka kehilangan kemampuan berharga untuk menilai kebutuhan mereka sendiri, atau membedakan tanda-tanda hari akhir.

Selama penggalian reruntuhan Pompeii, mereka menemukan tubuh utuh seorang wanita yang tampaknya sedang lari menghindari aliran lava panas yang meleleh di sisi gunung Vesuvius. Tercengkeram dalam tulang tangannya dua perhiasan anting-anting. Sungguh terlihat nyata bahwa dia telah terperingati oleh kehancuran yang mendekat dan kembali ke rumah untuk mengambil pernak-pernik di tangannya. Tetapi penundaan itu membuatnya mustahil untuk lolos dari arus kematian, dan dia tergilas dan terkubur di bawah lava.

Izinkan saya bertanya sebuah pertanyaan. Apa yang salah dari wanita ini? Di mana dia membuat kesalahan besar? Jawabannya mudah. Dia berpikir memiliki lebih banyak waktu dari yang sesungguhnya dia punya. Itu adalah kesalahan yang sama yang mayoritas manusia buat saat ini seiring bahaya kehancuran mendekat. Tidak ada orang yang tidak dibaptis, pribadi yang tanpa penyerahan diri di dunia yang tidak membuat kesalahan tersebut. Mereka ingin diselamatkan dan ingin melakukan itu suatu hari kelak, tetapi mereka memperkirakan bahwa masih ada banyak waktu.

Apakah Anda adalah salah seorang yang menunda waktu pengambilan keputusan tersebut, penyerahan diri sepenuhnya kehendak Anda? Izinkan saya memberitahu Anda sejenak. Ada sedikit kesempatan bahwa Anda benar dan bahwa Anda akan punya kesempatan yang lain – tetapi itu hanya sebuah kemungkinan! Ada sebuah kemungkinan yang lain bahwa Anda salah besar. Anda berjudi atas keselamatan jiwa Anda sendiri. Anda memainkan rolet Rusia yang mematikan atas kehidupan kekal Anda. Setiap hari yang berlalu, taruhannya menjadi semakin besar, dan kemungkinan Anda untuk menang menjadi semakin kecil. Kemungkinan-kemungkinan tertumpuk menentang Anda. Mengapa terus berjudi bahwa Anda tetap akan mempunyai kesempatan yang lain di masa mendatang? Anda tidak perlu berjudi. Anda memiliki sebuah kesempatan saat ini.

Pintu bahtera masih terbuka, dan itu hanya selangkah untuk masuk ke dalam. Mengapa tidak selesaikan ketidakpastian itu pada saat ini juga? Serahkan hati Anda dan katakan Ya kepada Juru Selamat yang pengasih, yang rindu untuk memberikan damai dan jaminan-Nya bagi Anda.

This resource is also available in the following languages: