Apakah Hari Minggu Sungguh Hari Suci?

Apakah Hari Minggu Sungguh Hari Suci?By Joe Crews

Sebuah Belokan Yang Salah

Salah satu doa raja Daud yang terindah tercatat dalam Mazmur 43:3. “Suruhlah terang-Mu dan kesetiaan-Mu datang, supaya aku dituntun dan dibawa ke gunung-Mu yang kudus dan ke tempat kediaman-Mu!”

Permohonan penuh tekad yang sama untuk memahami Firman Tuhan seharusnya ada dalam hati setiap orang yang tulus mencari kebenaran. Sebuah keinginan untuk belajar dan menaati harus menjadi ciri mereka yang berharap untuk diterangi Roh Kudus. Kepada orang-orang itu janji indah dari kebahagiaan akan digenapi. “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan” (Matius 5:6).

Tetapi tidak ada gunanya untuk berdoa demi kebenaran apabila kita tidak memiliki kerinduan untuk menurutinya saat Tuhan menjawab doa kita. Salah satu kemurahan terbesar yang Tuhan berikan kepada kita adalah dengan memberikan pengetahuan Firman-Nya. Dan hal paling gegabah yang seseorang dapat lakukan adalah untuk berdoa memahami kehendak Tuhan lalu menolak untuk menaati, untuk alasan apapun saat jawabannya datang.

Banyak orang bersalah menurunkan standar Alkitab untuk menyesuaikan pengalaman mereka yang lemah dan menyedihkan, daripada membawa pengalaman mereka naik untuk memenuhi standar Firman Tuhan. Hanya ada satu ujian besar kebenaran dan itu adalah Alkitab. Setiap pemikiran agama, setiap buku yang kita baca, dan setiap khotbah yang kita dengar seharusnya diukur dengan aturan yang tidak dapat disangkal dari Firman Tuhan. Tidak masalah apa yang diajarkan kepada kita saat masih anak-anak, atau apa yang diikuti mayoritas, atau kemanakah emosi kita membawa kita berpikir atau percaya. Faktor-faktor itu tidak sah sebagai ujian mutlak kebenaran. Pertanyaan pokok yang harus dijawab adalah: Apa yang dikatakan Firman Tuhan tentang hal tersebut?

Beberapa orang percaya kalau mereka tulus dalam apa yang mereka percayai, Tuhan akan menerima mereka dan menyelamatkan mereka. Akan tetapi ketulusan saja tidaklah cukup. Seseorang dapat saja tulus, dan tulus dalam kesalahan. Saya teringat pantai West Palm, di Florida beberapa tahun yang lalu. Setidaknya saya pikir saya menuju ke sana. Hari sudah malam, dan saya sudah beberapa saat tidak melihat tanda di jalanan. Tiba-tiba lampu mobil saya menyoroti sebuah petunjuk jalan bertuliskan, “Belle Glade 22 kilometer.” Sakit hati, saya rupanya berjalan ke arah yang berlawanan dengan pantai West Palm. Saya berada di jalan yang salah.

Tidak ada orang yang dapat lebih tulus daripada saya pada malam hari itu, tetapi saya tulus dalam kesalahan. Saya dapat saja melanjutkan perjalanan itu dengan berpikir entah bagaimana suatu saat nanti di depan saya dapat menemukan pantai West Palm. Akan tetapi yang saya lakukan adalah saya putar mobil saya dan mengemudi balik ke tempat di mana saya mengambil belokan yang salah, dan mengambil jalan yang benar menuju pantai West Palm. Itulah satu-satunya hal benar untuk dilakukan.

Pikiran yang Tertutup dan Aturan Mayoritas

Firman Tuhan punya banyak hal untuk dikatakan bagi mereka yang bersedia dikoreksi. Orang-orang yang perlu dikasihani adalah mereka yang pikirannya tertutup. Mereka harus menyangkal informasi apapun yang berbeda dari pandangan pribadi mereka. Pikiran mereka sudah ditetapkan, dan mereka tidak ingin diganggu oleh kenyataan ini. Ini benar khususnya mengenai topik Sabat.

Banyak orang mewarisi opini tentang hari yang harus dipelihara setiap minggunya, dan mereka menemukan sangat susah untuk melihat secara obyektif dari sudut pandang lain. Banyak dari mereka tahu bahwa salah satu dari sepuluh perintah mengharuskan pemeliharaan hari ketujuh dalam satu minggu. Mereka juga tahu bahwa hari yang ketujuh adalah hari Sabtu. Tetapi mereka tetap dengan gigih mengikuti tradisi memelihara hari yang berbeda dari yang Tuhan perintahkan. Mereka beribadah pada hari minggu, hari pertama mingguan, di mana tidak ada perintah Alkitabiah.

Mengapa mereka melakukannya? Banyak pemelihara hari minggu secara sederhana menerima praktek keagamaan mayoritas dalam komunitas di mana mereka dibesarkan; berasumsi bahwa itu pastilah benar karena begitu banyak orang yang melakukannya. Apakah itu asumsi yang aman? Apakah mayoritas biasanya benar dalam hal keagamaan?

Alkitab secara jelas menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan negatif. Setiap sumber yang tersedia dari informasi yang dikemukakan dalam hal agama, setidaknya mayoritas selalu salah selama ini. Yesus sendiri berkata, “Dan sama seperti terjadi pada zaman Nuh, demikian pulalah halnya kelak pada hari-hari Anak Manusia” (Lukas 17:26). Hanya delapan orang masuk dalam bahtera untuk diselamatkan dari air bah. Kristus mengajarkan bahwa sebanding dengan hal itu hanya sedikit juga yang akan selamat di akhir zaman. Kata-Nya, “Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya" (Matius 7:13-14)

Adalah benar bahwa sebagian besar mayoritas Kristen saat ini, termasuk para penginjil dan ahli teologia terkenal memelihara hari Minggu daripada hari Sabat. Fakta itu saja seharusnya tidak terlalu mengejutkan bagi tiap orang. Melihat itu saja, dalam terang Firman Kristus, itu seharusnya menaikkan sebuah bendera peringatan. Kebenaran tidak pernah populer dalam kerumunan orang. Dan mereka yang ada dalam kelompok mayoritas saat ini, seperti halnya di masa lampau, tidak sungguh-sungguh mencari kebenaran, seakan mereka mencari agama yang lancar, mudah dan nyaman yang mengizinkan mereka hidup sebagaimana mereka ingin hidup.

Lalu apa yang seharusnya menjadi tes kebenaran Sabat? Hanya satu hal dan satu hal saja – Firman Tuhan. Sayangnya jutaan orang tidak pernah mempelajari Alkitab bagi dirinya sendiri mengenai subyek ini. Saya menyarankan kita menguji praktek pemeliharaan hari Minggu dari kelompok mayoritas ini dan menyelidiki apakah itu benar. Kalau itu Alkitabiah maka semua orang seharusnya menerimanya dan dengan taat memelihara setiap hari Minggu. Kalau Firman tidak mendukungnya, maka kita harus dengan tekun menyelidiki Firman sampai kita menemukan hari yang Tuhan sahkan untuk kita pelihara.

Cara paling jujur yang saya tahu untuk melakukan pendekatan dalam subyek ini adalah untuk melihat dengan mutlak semua yang Alkitab katakan mengenai hari pertama mingguan. Hanya ada delapan teks dalam perjanjian baru yang merujuk pada hari Minggu, dan dengan mempelajari ayat-ayat ini secara cermat kita dapat memastikan bahwa semua bukti untuk pertimbangannya ada di hadapan kita. Kalau ada otoritas Alkitabiah untuk pemeliharaan hari pertama, itu akan ditemukan di salah satu dari ayat-ayat tersebut.

Kebangkitan di Hari Minggu

Mari kita mulai dengan kitab injil yang pertama. Matius menuliskan, “Setelah hari Sabat lewat, menjelang menyingsingnya fajar pada hari pertama minggu itu, pergilah Maria Magdalena dan Maria yang lain, menengok kubur itu” (Matius 28:1). Di sini kita mempunyai bukti yang menarik bahwa Sabat tidaklah mungkin hari pertama mingguan. Menurut catatan ini Sabat berakhir saat hari pertama dimulai. Mereka adalah dua hari yang berurutan. Berdasarkan Alkitab tidak ada orang yang dibenarkan dengan menyebut hari Minggu sebagai hari Sabat. Itu akan membingungkan dan tidak Alkitabiah.

Isi dari kesaksian Matius sederhananya bahwa wanita tersebut datang menjelang matahari terbit esoknya setelah hari Sabat, dan menemukan bahwa Yesus sudah bangkit. Ini selaras sempurna dengan injil berikutnya, yang menambahkan beberapa detil yang baru. Perhatikan bahwa Markus menyelaraskan fajar dengan terbitnya matahari. Dia menuliskan, “Setelah lewat hari Sabat, Maria Magdalena dan Maria ibu Yakobus, serta Salome membeli rempah-rempah untuk pergi ke kubur dan meminyaki Yesus. Dan pagi-pagi benar pada hari pertama minggu itu, setelah matahari terbit, pergilah mereka ke kubur. Mereka berkata seorang kepada yang lain: "Siapa yang akan menggulingkan batu itu bagi kita dari pintu kubur?” (Markus 16:1-3).

Paralel penulisan injil ini menjernihkan kesalahpahaman umum yang muncul tentang perkataan Matius “menjelang menyingsingnya fajar pada hari pertama minggu itu.” Beberapa orang mengartikan ini tepat sebelum matahari terbenam pada Sabtu sore. Karena perhitungan orang Ibrani berkata bahwa Sabat berakhir saat matahari terbenam, mereka asumsikan bahwa wanita itu datang tepat sebelum datangnya hari pertama saat matahari terbenam.

Di sini kita dapat melihat kegunaan membandingkan ayat dengan ayat. Perkataan Markus membuatnya menjadi mustahil untuk memegang pandangan bahwa wanita itu datang pada Sabtu sore dan menemukan kubur itu kosong. Dia menjelaskan wanita yang sama datang pada saat matahari terbit hari Minggu pagi, tetapi mereka menanyakan pertanyaan, "Siapa yang akan menggulingkan batu itu bagi kita dari pintu kubur?" Tentunya kalau mereka sudah di sana malam sebelumnya dan menemukan bahwa kuburnya kosong, mereka akan tahu kalau batunya sudah digulingkan dari pintu kubur. Dengan demikian kita dapat memahami dengan jelas bahwa “fajar” dari Matius merujuk pada kunjungan subuh pada saat matahari terbit hari Minggu pagi.

Referensi ketiga perjanjian baru bagi hari pertama adalah naratif sederhana pernyataan dalam Markus 16:9, “Setelah Yesus bangkit pagi-pagi pada hari pertama minggu itu, Ia mula-mula menampakkan diri-Nya kepada Maria Magdalena. Dari padanya Yesus pernah mengusir tujuh setan.” Sedikit saja komentar yang perlu diberikan di sini, karena ayat ini hanya mengulangi cerita yang sama mengenai kebangkitan Yesus pada hari Minggu pagi. Hal yang penting untuk dicatat adalah tidak ada apapun yang dikatakan di ayat-ayat ini bahwa hari pertama mingguan adalah kudus. Tidak ada pernyataan agar kita memelihara hari tersebut untuk menghargai kebangkitan Yesus.

Menentukan Hari Sabat yang Sebenarnya

Salah satu perkataan paling lengkap untuk menggambarkan peristiwa kebangkitan ditemukan di injil Lukas, dan di sini kita menemukan referensi ke empat untuk hari pertama mingguan. “Ia [Yusuf Arimatea] pergi menghadap Pilatus dan meminta mayat Yesus. Dan sesudah ia menurunkan mayat itu, ia mengapaninya dengan kain lenan, lalu membaringkannya di dalam kubur yang digali di dalam bukit batu, di mana belum pernah dibaringkan mayat. Hari itu adalah hari persiapan dan sabat hampir mulai” (Lukas 23:52-54).

Sebelum kita membaca lebih lanjut, mari secara seksama kita periksa gambaran inspirasi mengenai hari penyaliban ini. Umat Kristen secara luas setuju bahwa peristiwa ini terjadi pada sebuah hari yang saat ini kita kenal sebagai Jumat Agung (Good Friday). Di sini ini disebut hari persiapan, karena ini adalah sebuah waktu untuk membuat persiapan mendekati hari Sabat. Pada kenyataannya ayat di atas menyatakan dengan jelas “Sabat hampir mulai.” Ini artinya Sabat segera tiba.

Apalagi yang terjadi pada hari Yesus wafat? “Dan perempuan-perempuan yang datang bersama-sama dengan Yesus dari Galilea, ikut serta dan mereka melihat kubur itu dan bagaimana mayat-Nya dibaringkan. Dan setelah pulang, mereka menyediakan rempah-rempah dan minyak mur. Dan pada hari Sabat mereka beristirahat menurut hukum Taurat” (ayat 55,56).

Selama sisa hari Jumat yang penuh cerita itu, para perempuan yang berdedikasi membawa bahan-bahan untuk pengurapan dan membuat persiapan lebih lanjut untuk kunjungan hari Minggu mereka ke kubur Yesus. Lalu saat Sabat hampir dimulai saat matahari terbenam, mereka “beristirahat menurut hukum Taurat.” Ini mengidentifikasi hari kudus itu yang disebutkan sebagai Sabat mingguan dari sepuluh perintah secara spesifik, dan bukan Paskah atau sabat festival lainnya yang dapat jatuh pada hari apapun dalam mingguan.

Ayat berikutnya memberitahukan apa yang perempuan itu lakukan pada hari setelah hari Sabat. “tetapi pagi-pagi benar pada hari pertama minggu itu mereka pergi ke kubur membawa rempah-rempah yang telah disediakan mereka. Mereka mendapati batu sudah terguling dari kubur itu” (Lukas 24:1,2).

Pertama-tama kita dapati bahwa para wanita itu datang untuk melakukan pekerjaan mereka pada hari kebangkitan. Gereja-gereja modern merujuk hari pertama mingguan itu sebagai hari kebangkitan hari Minggu. Tidak ada keraguan bahwa Yesus dibangkitkan pada saat hari masih gelap pada pagi hari itu. Tidak ada dalam injil manapun kita dapati bukti bahwa para wanita atau siapapun juga, menandakan adanya kekudusan pada hari di mana kebangkitan terjadi.

Tulisan Lukas mengenai akhir pekan yang penuh cerita tersebut membuktikan tanpa keraguan bahwa Sabat hari ketujuh yang sejati masih dapat dengan benar ditentukan. Dia mengambarkan urutan peristiwa-peristiwa dalam tiga hari berurutan tersebut – Jumat, Sabtu dan Minggu. Yesus wafat pada hari persiapan, dan Sabat sudah hampir mulai. Umat Kristen menyebutnya saat ini sebagai Jumat Agung. Hari berikutnya adalah hari Sabat “menurut hukum Taurat.” Karena perintah Tuhan menyatakan dengan jelas bahwa “hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan,” Sabat pastilah hari Sabtu.

Adalah sangat menarik untuk dicatat bahwa Yesus beristirahat di kubur pada hari Sabat dari pekerjaan penebusan-Nya, seperti halnya Dia beristirahat dari pekerjaan penciptaan-Nya pada hari Sabat.

Pada hari setelah hari Sabat, Yesus bangkit. Saat itu disebut sebagai Minggu Paskah, tetapi Alkitab menyebutnya sebagai “hari pertama mingguan.” Dalam terang fakta sejarah yang tidak dapat disangkal ini yang dianut setiap kekristenan, tidak ada orang yang dapat berdalih atas hari Sabat yang sebenarnya. Itu adalah hari antara Jumat Agung dan Minggu Paskah. Catatan Lukas adalah sebuah tulisan kronologis yang sempurna dari tiga hari itu, bahkan orang yang paling sederhana dan kurang berpendidikan dapat mengetahui hari ketujuh Alkitabiah pada kalender modern kita.

Sekarang kita siap untuk menyelidiki pernyataan kelima dari perjanjian baru mengenai hari Minggu. “Pada hari pertama minggu itu, pagi-pagi benar ketika hari masih gelap, pergilah Maria Magdalena ke kubur itu dan ia melihat bahwa batu telah diambil dari kubur” (Yohanes 20:1). Ada sedikit sekali informasi tambahan dalam gambaran Yohanes mengenai kebangkitan. Seperti halnya penulis lainnya dia tidak memberikan indikasi apapun bahwa hari pertama pernah dianggap kudus atau dipelihara kekudusannya oleh siapapun. Sejauh ini kesamaan penting dalam semua kisah injil adalah tidak adanya bukti untuk hal semacam itu.

Karena Takut Kepada Orang Yahudi

Yohanes menuliskan “hari pertama” sekali lagi pada pasal yang sama, dan ini seringkali disalah tafsirkan sebagai perbaktian hari Minggu. “Ketika hari sudah malam pada hari pertama minggu itu berkumpullah murid-murid Yesus di suatu tempat dengan pintu-pintu yang terkunci karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi. Pada waktu itu datanglah Yesus dan berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata: "Damai sejahtera bagi kamu!” (Yohanes 20:19).

Meskipun pertemuan di balik pintu tertutup ini terjadi pada hari yang sama dengan kebangkitan, apakah ini spesial untuk mengenang peristiwa tersebut? Situasi membuatnya mustahil sehingga itu menjadi poinnya. Ayat tersebut dengan jelas mengatakan mereka berkumpul di sana karena “takut kepada orang-orang Yahudi.” Murid-murid yang ketakutan telah menyadari kubur itu kosong, dan mereka takut segera dituduh telah mencuri tubuh Yesus. Mereka berkerumun bersama di ruangan yang terkunci untuk perlindungan dan jaminan keamanan.

Faktanya adalah mereka tidak percaya kalau Kristus telah bangkit dari antara orang mati. Catatan Markus mengungkapkan bahwa mereka sepenuhnya menolak kesaksian dari Maria dan murid-murid lainnya yang mengatakan bahwa mereka telah melihat Tuhan. “Lalu perempuan itu pergi memberitahukannya kepada mereka yang selalu mengiringi Yesus, dan yang pada waktu itu sedang berkabung dan menangis. Tetapi ketika mereka mendengar, bahwa Yesus hidup dan telah dilihat olehnya, mereka tidak percaya. Sesudah itu Ia menampakkan diri dalam rupa yang lain kepada dua orang dari mereka, ketika keduanya dalam perjalanan ke luar kota. Lalu kembalilah mereka dan memberitahukannya kepada teman-teman yang lain, tetapi kepada merekapun teman-teman itu tidak percaya. Akhirnya Ia menampakkan diri kepada kesebelas orang itu ketika mereka sedang makan, dan Ia mencela ketidakpercayaan dan kedegilan hati mereka, oleh karena mereka tidak percaya kepada orang-orang yang telah melihat Dia sesudah kebangkitan-Nya” (Markus 16:10-14).

Berdasarkan perkataan ini, kita harusnya secara langsung melewati pertemuan Minggu malam yang memalukan dalam ruangan tertutup itu. Itu bukan situasi sukacita yang tidak dapat dibendung karena kebangkitan, seperti halnya digambarkan beberapa orang. Pada kenyataannya bahkan tidak ada persetujuan dari pihak para murid bahwa sebuah mukjizat telah terjadi. Mereka ketakutan, depresi dan tidak percaya. Saat Yesus menampakkan diri kepada mereka, Dia mengungkapkan perkataan hardikan yang tegas karena kurangnya iman mereka dan karena mereka telah menolak kesaksian sahabat mereka sendiri. Betapa menyesatkannya untuk membuat hal ini sebagai pelayanan sukacita mengenang dan menghormati kebangkitan.

Sejauh ini, kita telah mempelajari enam dari delapan referensi dalam Perjanjian Baru tanpa satupun penemuan mengenai pemeliharaan hari Minggu. Bahkan pada kenyataannya setiap dari ayat-ayat tersebut mengungkapkan sebuah kekonsistenan, ketidakpedulian sepenuhnya akan pengakuan hari pertama mingguan untuk perbaktian, peristirahatan ataupun mengenang kebangkitan. Injil dituliskan beberapa tahun setelah peristiwa itu terjadi, memberikan banyak kesempatan bagi Roh Kudus untuk memberikan inspirasi pada para penulisnya dengan fakta yang lengkap. Yesus mengatakan pada para murid-Nya bahwa pekerjaan Roh Kudus adalah untuk “memimpin kita ke dalam seluruh kebenaran” (Yohanes 16:13). Kalau pemeliharaan hari pertama menjadi bagian dari kebenaran, maka Roh Kudus secara ilahi perlu mengungkapkannya pada Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Demikian dikatakan Tuhan kita.

Sekarang kita melangkah pada dua referensi yang tersisa. Kalau kita tidak menemukan bukti pada ayat-ayat ini, kita harus meninggalkan penyelidikan, karena tidak ada lagi yang dapat diselidiki. Paulus dan Lukas adalah saksi final yang mengungkapkan hari pertama mingguan, dan ucapan keduanya telah banyak disalah tafsirkan.

Tidak Ada Pemeliharaan Hari Minggu di Korintus.

Dalam 1 Korintus 16:-3, Paulus menuliskan: “Tentang pengumpulan uang bagi orang-orang kudus, hendaklah kamu berbuat sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang kuberikan kepada Jemaat-jemaat di Galatia. Pada hari pertama dari tiap-tiap minggu hendaklah kamu masing-masing--sesuai dengan apa yang kamu peroleh--menyisihkan sesuatu dan menyimpannya di rumah, supaya jangan pengumpulan itu baru diadakan, kalau aku datang. Sesudah aku tiba, aku akan mengutus orang-orang, yang kamu anggap layak, dengan surat ke Yerusalem untuk menyampaikan pemberianmu.”

Tolong perhatikan dengan cermat apa yang dikatakan rasul Paulus, dan apa yang tidak dia katakan. Banyak yang berasumsi bahwa sebuah pertemuan agama telah diadakan dan kolekte dilangsungkan. Bukan ini kasusnya. Paulus sedang memberikan panggilan khusus kepada gereja-gereja di Asia kecil, karena umat Kristen di Yerusalem menderita akibat kekurangan makanan dan kebutuhan harian. Paulus meminta jemaat di Korintus untuk mengumpulkan makanan, pakaian dan lain-lain. Dan menyimpannya di rumah mereka sampai dia dapat mengirim orang untuk membawanya ke Yerusalem. Ekspresi “menyimpannya di rumah” dalam bahasa asli Yunani memberikan konotasi jelas agar disisihkan di rumah. Bahkan orang yang mendukung hari Minggu menyetujui hal ini.
Tidak ada pertemuan yang berlangsung pada hari pertama mingguan. Pengumpulan dan penyisihan agar dilakukan pada hari itu. Kenapa Paulus menyarankan ini dilakukan pada hari Minggu, dan apa yang harus dikerjakan untuk melakukan hal itu?

Pertama-tama suratnya pastilah dibagikan kepada gereja pada hari Sabat di mana mereka semua berkumpul untuk beribadah. Kesempatan pertama untuk bekerja pastinya hari esoknya – hari pertama mingguan. Ingatlah dipikiran bahwa ada sebuah kekurangan makanan yang mencolok di Yerusalem, dan keperluannya secara primer bukanlah uang. Kelaparan semacam itu tidaklah biasa di daerah Timur Tengah, seperti diungkapkan Lukas dalam Kisah Para Rasul 11:28-30.

Gereja di Roma memberikan sebuah petunjuk akan kebutuhan khusus umat Kristen yang menderita tersebut. “Tetapi sekarang aku sedang dalam perjalanan ke Yerusalem untuk mengantarkan bantuan kepada orang-orang kudus. Sebab Makedonia dan Akhaya telah mengambil keputusan untuk menyumbangkan sesuatu kepada orang-orang miskin di antara orang-orang kudus di Yerusalem. Keputusan itu memang telah mereka ambil, tetapi itu adalah kewajiban mereka. Sebab, jika bangsa-bangsa lain telah beroleh bagian dalam harta rohani orang Yahudi, maka wajiblah juga bangsa-bangsa lain itu melayani orang Yahudi dengan harta duniawi mereka. Apabila aku sudah menunaikan tugas itu dan sudah menyerahkan hasil usaha bangsa-bangsa lain itu kepada mereka, aku akan berangkat ke Spanyol melalui kota kamu” (Roma 15:25-28).

Di sini rasul Paulus menyentuh poin kemurahan hati dalam panggilannya yang mengesankan. Umat Kristen di Roma berhutang banyak pada ibu jemaat di Yerusalem yang telah mengirimkan guru-guru penginjil untuk mengajari mereka. Paulus mendorong mereka untuk mengembalikan harta duniawi, materi ataupun pemberian sebagai penghargaan akan kebenaran rohani yang diterima dari mereka. Pemberian macam apa yang Paulus pikirkan? Sangat menarik bahwa ia menggambarkannya seakan memateraikan bagi mereka “hasil usaha” ini. Bahasa Yunani yang dipakai di sini adalah “karpos,” yang mana adalah istilah untuk buah secara literal. Itu juga mempunyai konotasi buah pekerjaan seseorang.

Ini memberikan terang atas nasehat Paulus kepada umat Kristen di Korintus untuk melakukan pekerjaan mereka pada hari pertama mingguan, “supaya jangan pengumpulan itu baru diadakan, kalau aku datang.” Pekerjaan seperti mengumpulkan dan menyimpan hasil produksi kebun dan ladang tentunya tidak layak dilakukan pada hari Sabat. Dalam ayat ini, hari Minggu sekali lagi diidentifikasi sebagai sebuah hari untuk aktivitas sekuler dan tidak menyatakan indikasi untuk pemeliharaan keagamaan.

Khotbah Terpanjang Paulus

Ini membawa kita kepada referensi terakhir yang mungkin dapat menyediakan dukungan untuk kekudusan hari Minggu. Dalam sejarah yang dituliskan Lukas mengenai jemaat mula-mula, dia menggambarkan pertemuan perpisahan dramatis yang Paulus punya dengan para umat percaya di Troas. Mereka yang memegang alasan kecil untuk membenarkan ketidaktaatan pada perintah Tuhan secara menyedihkan telah memutarbalikkan catatan di kitab Kisah Para Rasul. Karena itu satu-satunya catatan di Perjanjian Baru akan sebuah pertemuan yang diadakan pada hari pertama mingguan, kita seharusnya menyelidikinya dengan perhatian dan minat khusus.

Konteks penuhnya menyatakan bahwa itu adalah sebuah pertemuan di malam hari. “Tetapi sesudah hari raya Roti Tidak Beragi kami berlayar dari Filipi dan empat hari kemudian sampailah kami di Troas dan bertemu dengan mereka. Di situ kami tinggal tujuh hari lamanya. Pada hari pertama dalam minggu itu, ketika kami berkumpul untuk memecah-mecahkan roti, Paulus berbicara dengan saudara-saudara di situ, karena ia bermaksud untuk berangkat pada keesokan harinya. Pembicaraan itu berlangsung sampai tengah malam. Di ruang atas, di mana kami berkumpul, dinyalakan banyak lampu. Seorang muda bernama Eutikhus duduk di jendela.

Karena Paulus amat lama berbicara, orang muda itu tidak dapat menahan kantuknya. Akhirnya ia tertidur lelap dan jatuh dari tingkat ketiga ke bawah. Ketika ia diangkat orang, ia sudah mati. Tetapi Paulus turun ke bawah. Ia merebahkan diri ke atas orang muda itu, mendekapnya, dan berkata: "Jangan ribut, sebab ia masih hidup." Setelah kembali di ruang atas, Paulus memecah-mecahkan roti lalu makan; habis makan masih lama lagi ia berbicara, sampai fajar menyingsing. Kemudian ia berangkat. Sementara itu mereka mengantarkan orang muda itu hidup ke rumahnya, dan mereka semua merasa sangat terhibur. Kami berangkat lebih dahulu ke kapal dan berlayar ke Asos, dengan maksud untuk menjemput Paulus di situ sesuai dengan pesannya, sebab ia sendiri mau berjalan kaki melalui darat” (Kisah Para Rasul 20:6-13).

Ada sesuatu yang sangat tidak biasa tentang pertemuan semalaman di Troas ini. Pertama-tama ini pastilah sebuah peristiwa yang serius dan menyedihkan bagi si pembicara dan jemaat juga tentunya. Di ayat 25 Paulus menyatakan, “Dan sekarang aku tahu, bahwa kamu tidak akan melihat mukaku lagi, kamu sekalian yang telah kukunjungi untuk memberitakan Kerajaan Tuhan.”

Sudah barang tentu pertemuan perpisahan ini diadakan pada saat hari gelap di hari pertama mingguan. Ada banyak lampu di ruangan, dan Paulus berkhotbah sampai tengah malam. Adalah penting untuk mengerti cara perhitungan waktu bangsa Yahudi. Hari tidak dihitung menurut perhitungan kafir Romawi, dari tengah malam sampai tengah malam. Dalam Alkitab, hari dimulai semenjak matahari terbenam.

Kitab Kejadian menggambarkan hari penciptaan dengan cara yang sama – “Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama… Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari kedua” dll. Dengan kata lain petang selalu datang duluan dalam perhitungan hari.
Ini menjelaskan kenapa Sabat digambarkan dengan perkataan ini, “Itu harus menjadi suatu sabat, hari perhentian penuh bagimu,… dari matahari terbenam sampai matahari terbenam, kamu harus merayakan sabatmu" (Imamat 23:32). Tetapi kapan malam hari (petang) dimulai dalam Alkitab? “Saat malam, sesudah matahari terbenam, dibawalah kepada Yesus semua orang yang menderita sakit dan yang kerasukan setan” (Markus 1:32 – terjemahan literal KJV). Karena orang Farisi mengajarkan bahwa itu adalah salah untuk menyembuhkan orang pada hari Sabat, orang-orang menunggu sampai hari Sabat berakhir sebelum membawa teman mereka yang sakit pada Yesus. Maka dari itu mereka membawa teman-temannya “saat malam, sesudah matahari terbenam.” Musa menuliskan, “engkau harus mempersembahkan korban Paskah itu pada waktu senja, ketika matahari terbenam, bertepatan dengan saat engkau keluar dari Mesir” (Ulangan 16:6).

Dalam kitab Nehemia kita diberikan gambaran lain tentang permulaan hari Sabat. “Kalau sudah remang-remang di pintu-pintu gerbang Yerusalem menjelang hari Sabat, kusuruh tutup pintu-pintu dan kuperintahkan supaya jangan dibuka sampai lewat hari Sabat. Dan aku tempatkan beberapa orang dari anak buahku di pintu-pintu gerbang, supaya tidak ada muatan yang masuk pada hari Sabat” (Nehemia 13:19). Ini secara mutlak menempatkan permulaan hari Sabat pada saat matahari terbenam, saat sudah mulai gelap (remang-remang).

Sekarang kita siap untuk mengaplikasikan prinsip Alkitabiah ini pada pertemuan di hari pertama dari Paulus di Troas. Latar belakang malam hari ini tentunya diadakan pada hari Sabtu malam. Sabat berakhir saat matahari terbenam, dan hari pertama mingguan dimulai. Paulus yang telah tinggal tujuh hari penuh sehingga dia dapat bersama orang-orang sepanjang Sabat, memutuskan untuk tidak pergi dengan kapal pada malam Sabtu. Alih-alih malahan dia mengadakan persekutuan sepanjang malam dengan para umat percaya dan berjalan sepanjang semenanjung sejauh dua puluh mil pada hari minggu paginya untuk naik kapal di Asos.

Secara bertepatan teman-teman missionaris Paulus, termasuk Lukas, yang mencatatkan garis besar jadwal perjalanan yang terencana cermat tersebut menaiki kapal ini. Adalah sangat penting sehingga mereka tidak berlayar sampai hari Sabat berakhir pada Sabtu malam. Bekerja keras mendayung dan berlayar tidaklah tepat untuk sebuah hari yang kudus, karenanya Paulus lebih memilih berjalan kaki dua puluh mil melewati Isthmus pada hari Minggu pagi. Paulus ataupun rekan sekerjanya tidak mau sesuka hati menyenangi aktivitas sekuler pada hari Sabat kudus Tuhan.

Mengapa Eutikhus Terjatuh Keluar

Alkitab versi New English secara langsung menyatakan bahwa pertemuan itu diadakan hari Sabtu malam. Fokus utamanya seakan pada kebangkitan kembali Eutikhus setelah dia terjatuh keluar dari jendela. Paulus yang bersemangat, setelah melayani pada hari Sabat dan sepanjang malam Sabtu, berjalan dua puluh mil pada hari minggu untuk bergabung dengan rekannya di Asos. Mereka telah naik kapal seiring itu berlayar di sepanjang peninsula pada Sabtu malam, setelah Sabat berakhir. Perjalanan kaki Paulus yang panjang itu tidaklah pantas untuk hari kudus apapun.

Beberapa menyamakan peristiwa memecah roti itu dengan komuni, tetapi pandangan semacam itu tidaklah dapat didukung secara Alkitabiah. Lukas memberitahukan pada kita bahwa jemaat mula-mula memecah roti setiap hari. “Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Tuhan. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati” (Kisah Para Rasul 2:46).

Alkitab tidak dapat mengkonfirmasi anggapan bahwa Paulus merayakan perjamuan Tuhan dengan umat percaya di ruang atas itu. Perkataannya memberikan indikasi bahwa itu sebuah perjamuan makan bersama. “Setelah kembali di ruang atas, Paulus memecah-mecahkan roti lalu makan…” (Kisah Para Rasul 20:11). Di sini kita dapati bahwa makan dihubungkan dengan memecah roti. Adalah tidak mungkin komuni dirujuk dengan cara seperti ini.

Meskipun pertemuan perpisahan tersebut turut merayakan penderitaan dan wafat Kristus, itu tidak akan memberikan kepercayaan apapun pada pemeliharaan hari Minggu. Kita telah melihat sendiri dari Kisah Para Rasul 2 bahwa roti dipecahkan setiap hari, dan tidak ada tertulis di manapun perjamuan Tuhan dihubungkan dengan hari tertentu. Sudah barang tentu bagi semua orang bahwa pertemuan di Troas bukanlah perbaktian reguler mingguan. Kepentingan pertemuan semalaman itu tampaknya dalam mukjizat kebangkitan anak muda Eutikhus, dan akan kenyataan bahwa Paulus tidak akan bertemu lagi dengan mereka sampai kematiannya. Latar belakang waktu – sepanjang Sabtu malam – tidak mempunyai kepentingan rohani apapun. Lukas sejarawan yang cermat tersebut bahkan tidak mencatatkan isi dari khotbah maraton Paulus, meskipun dia secara setia mendokumentasikan kebangkitan kembali pemuda tersebut. Tampaknya adalah cara Eutikhus terjatuh keluar gereja dan bukan hari di mana itu terjadi yang Lukas coba sampaikan.

Kita sekarang telah menyelesaikan penyelidikan intensif dari delapan referensi Perjanjian Baru pada hari pertama mingguan. Tidak satupun dari mereka memberikan bukti terkecil bahwa hari Minggu dikuduskan oleh Tuhan atau dirayakan oleh manusia. Buku penguji dari Tuhan yang tidak tersangkalkan mengungkapkan bahwa mayoritas orang mengikuti tradisi daripada kebenaran. Jutaan orang tertipu dalam kesetiaan buta pada sebuah lambang kekafiran yang tidak bermakna.

Saya diingatkan pada cerita raja Rusia yang berjalan-jalan suatu pagi di daerah perbatasan dari tanah kerajaannya yang luas. Di sana dia melihat seorang prajurit dengan sebuah senapan di bahunya berjalan naik turun dekat sudut yang terabaikan pada tembok halaman. Dia bertanya pada prajurit tersebut, siapa yang bertugas mengawasi sementara dia berjaga. Prajurit tersebut menjawab bahwa dia hanya menjalankan perintah dan tidak tahu kenapa dia ditempatkan pada tempat khusus tersebut. Raja tersebut bertanya kepada kapten dari penjaga, apa yang prajurit tersebut lakukan, akan tetapi dia juga tidak tahu apa-apa. Jendral yang bertanggung jawab atas keamanan istana akhirnya ditanyai, tetapi dia juga tidak dapat memberikan alasan untuk penempatan tersebut. Akhirnya, raja memerintahkan sebuah pencarian catatan militer kuno, dan misteri itu akhirnya terkuak.

Bertahun-tahun yang lalu, ibunda ratu menanam mawar di sudut halaman tersebut, dan seorang prajurit ditempatkan untuk menjaga tanaman muda itu agar tidak diinjak. Kemudian setelahnya seseorang lupa untuk membatalkan perintah itu, dan pengawasan setiap hari tetap berlangsung selama bertahun-tahun – seorang prajurit dengan senapan tidak menjaga apapun melainkan sudut halaman kosong bekas tanaman mawar.

Saat ini ada jutaan umat Kristen yang tulus yang secara agama mencoba memelihara kekudusan hari Minggu. Mereka tidak menyadari bahwa sebetulnya tidak ada apapun yang perlu dijaga. Hari pertama mingguan sama kosongnya seperti sudut bekas tanaman mawar yang terabaikan itu. Yesus berkata, "Setiap tanaman yang tidak ditanam oleh Bapa-Ku yang di sorga akan dicabut dengan akar-akarnya” (Matius 15:13).

Hari yang Mereka Jaga

Sekarang kita telah melewatkan semua sumber yang mungkin yang dapat mendukung pemeliharaan hari Minggu tanpa menemukan bukti dukungan terkecil sekalipun, mari kita berpaling pada sejarah yang diinspirasikan dari jemaat mula-mula. Kalau mereka tidak memelihara hari pertama mingguan, hari mana yang mereka pelihara? Kitab Kisah Para Rasul memberikan sebuah pola konsisten pemeliharaan Sabat hari ketujuh. Pada sebuah kesempatan, Paulus diminta oleh bangsa-bangsa lain untuk mengadakan sebuah pertemuan ekslusif bagi mereka pada hari Sabat. “Ketika Paulus dan Barnabas keluar, mereka diminta untuk berbicara tentang pokok itu pula pada hari Sabat berikutnya… Pada hari Sabat berikutnya datanglah hampir seluruh kota itu berkumpul untuk mendengar firman Tuhan” (Kisah Para rasul 13:42,44).

Ada poin-poin yang sangat menarik dari ayat-ayat yang dinamis ini yang mensahkan praktek Sabat bagi Paulus dan rekan Kristennya. Setelah berkhotbah di bait, di mana bangsa-bangsa lain tidak diizinkan untuk masuk, Paulus dimohon oleh bangsa lain dengan sebuah undangan untuk berkhotbah bagi mereka “hari Sabat berikutnya.” Banyak orang yang berprasangka bahwa Paulus hanya berkhotbah di bait Tuhan pada hari Sabat karena dia punya kerumunan pendengar orang Yahudi. Ini adalah sebuah pernyataan yang salah. Pada kesempatan ini, Paulus membuat jadwal untuk melayani bangsa-bangsa lain pada hari Sabat berikutnya, dan menurut ayat 43, banyak dari mereka yang mendengarnya hari itu adalah “penganut-penganut” iman. Ini artinya mereka adalah orang yang bertobat kepada kekristenan, dan Paulus dan Barnabas “menasihati supaya mereka tetap hidup di dalam kasih karunia Tuhan.”

Betapa menariknya bahwa perbaktian Sabat mereka dibicarakan dalam konteks “tetap hidup dalam kasih karunia Tuhan! Pengkritik modern Sabat mencoba melabel para pemelihara Sabat sebagai legalis yang adalah alien dari kasih karunia injil. Tidak demikian menurut para penulis Alkitab, yang secara konstan menghubungkan penurutan dengan keselamatan yang sejati oleh iman.

Dalam Kisah Para Rasul 16:13 kita punya bukti positif bahwa Paulus memelihara Sabat bahkan saat tidak ada bait Tuhan dan tidak ada orang Yahudi. Dia sedang melayani di Yunani, di mana hanya ada beberapa orang Yahudi yang tersebar dan tidak ada bait sama sekali. Apa yang dia lakukan pada hari Sabat? “Pada hari Sabat kami ke luar pintu gerbang kota. Kami menyusur tepi sungai dan menemukan tempat sembahyang Yahudi, yang sudah kami duga ada di situ; setelah duduk, kami berbicara kepada perempuan-perempuan yang ada berkumpul di situ.”

Bahkan tanpa adanya gereja untuk dihadiri, rasul Paulus mencari sebuah tempat di mana perbaktian dapat diadakan – di sebuah tempat berdoa di pinggir sungai – dan berkhotbah pada meraka yang datang kesana. Tentunya tidak seorangpun melewatkan komitmen mendalam Paulus seiring kita mengikuti dia pada misi di luaran yang tidak biasa itu. Kalau saja pengalaman di Makedonia ini terjadi pada hari pertama mingguan alih-alih hari Sabat, itu akan dikutip sebagai pendukung mutlak untuk perbaktian hari Minggu, dan kita harus sependapat dengan itu. Tetapi argumentasi apa yang mungkin diberikan seseorang terhadap teladan Paulus dalam pemeliharaan Sabat yang sejati ini?

Sekali lagi kita baca kebiasaan praktek Paulus dalam perkataan ini, “Seperti biasa Paulus masuk ke rumah ibadat itu. Tiga hari Sabat berturut-turut ia membicarakan dengan mereka bagian-bagian dari Kitab Suci” (Kisah Para Rasul 17:2). “Dan setiap hari Sabat Paulus berbicara dalam rumah ibadat dan berusaha meyakinkan orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani” (Kisah Para Rasul 18:4).

Akhirnya kita memetik kesaksian dahsyat rasul Paulus bahwa dia tidak pernah memelihara satu hari Minggupun sebagai hari kudus sepanjang hidupnya. Sebelum kematiannya, Paulus membuat pernyataan penuh empati ini kepada para pemimpin Yahudi, “Saudara-saudara, meskipun aku tidak berbuat kesalahan terhadap bangsa kita atau terhadap adat istiadat nenek moyang kita, namun aku ditangkap di Yerusalem dan diserahkan kepada orang-orang Roma” (Kisah Para Rasul 28:17).

Berpikirlah sejenak! Kalau Paulus pernah secara sengaja melanggar Sabat, atau memelihara hari lain selain hari ketujuh, dapatkah dia mengumandangkan dengan lantang bahwa dia tidak pernah berbuat hal yang salah terhadap kebiasaan bangsa Yahudi. Pada kuasa deklarasi yang tidak tersandingi oleh seseorang dengan integritas yang tak dapat disangsikan itu, kita menghentikan penyelidikan untuk otoritas pemeliharaan hari Minggu dalam Alkitab. Intinya itu tidak pernah ada.

Kalau saja kita dapat menemukannya, kewajiban agama kita akan tanpa keraguan lebih mudah untuk dilaksanakan. Kita akan mendapatkan dukungan dan teladan dari institusi-institusi besar keagamaan di muka bumi, baik dari Protestan dan Katolik.

Tetapi kita tidak mencari jalan yang paling populer atau yang paling nyaman; kita mencari jalan yang Alkitabiah. Dan kita telah menemukannya. Dengan segala keterus-terangan kita harus mengumandangkan bahwa kebiasaan yang menang untuk memelihara sebuah hari yang berbeda dari yang diperintahkan dalam hukum besar tulisan tangan Tuhan adalah berlawananan dengan Firman yang pada akhirnya akan menghakimi kita. Tidak ada jumlah opini populer atau mayoritas yang dapat merubah kesaksian tegas dari sebuah “demikianlah Firman Tuhan.” Kita harus berdiri berdasarkan Alkitab dan Alkitab saja untuk pengajaran kita dalam hal ini.

Firman Tuhan berkata, “tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan” (Keluaran 20:10). Sampai kita menemukan indikasi dalam Alkitab bahwa Tuhan merubah hukum moralnya yang Ia perkenalkan kepada dunia dengan kuasa dan kemegahan yang riuh itu, kita akan menerima sepuluh perintah masih relevan dan mengikat saat ini. Tuhan mengatakan maksud-Nya, dan Dia serius dengan perkataan-Nya.

Beberapa berpendapat bahwa Tuhan mengecualikan kita dari perintah keempat karena mustahil untuk memelihara hari ketujuh dalam komunitas yang kompetitif dan zaman industrialisasi di mana kita harus bekerja untuk penghidupan. Adalah benar tidak diragukan bahwa Setan telah memanipulasi dunia ekonomi untuk kelemahan para pemelihara hari Sabat, tetapi Tuhan tidak pernah menyuruh kita melakukan hal yang mustahil. Adalah tidak pernah menjadi penting untuk melanggar satu perintah Tuhan demi alasan apapun.

Anda dapat berkata, “Tetapi bos saya mengharuskan saya bekerja hari Sabtu, dan saya tidak dapat membiarkan keluarga saya kelaparan.” Jawaban dari dilema tersebut diberikan oleh Juru Selamat kita jauh di masa lalu dalam khotbah-Nya di atas bukit. Dia berkata, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Matius 6:33). Ayat-ayat sebelumnya mendefinisikan “semuanya itu” sebagai makanan, baju dan pekerjaan. Yesus secara sederhana mengatakan pada kita bahwa kalau ada konflik antara harus menuruti Dia atau bos kita, kita harus menempatkan Dia sebagai yang pertama. Pertimbangan materi tidak seharusnya menjadi lebih penting daripada melakukan kehendak Tuhan.

Dalam setiap kasus Tuhan menghormati iman dari seorang Kristen yang memutuskan untuk memelihara Sabat tidak peduli apapun yang terjadi pada pekerjaannya. Seringkali Tuhan membuat mukjizat dengan membuat sesuatu yang spesial bagi para pemelihara Sabat. Dalam beberapa kasus Ia izinkan anak-anak-Nya diuji dengan kehilangan pekerjaan mereka dan membukakan mereka sesuatu yang lebih baik sebagai jawaban iman mereka. Akan tetapi “semuanya itu” selalu diberikan apabila kita percaya dan menuruti Dia, tidak peduli apapun situasinya.

Rahasia sejati untuk memelihara Sabat Tuhan adalah dengan memiliki Tuhan atas hari Sabat itu dalam hati kita! Adalah kasih yang membawa anak-anak Tuhan untuk memilih mati daripada melanggar salah satu perintah-Nya. Yesus berkata, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku” (Yohanes 14:15). Rasul Yohanes mendefinisikan kasih dengan perkataan sebagai berikut, “Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu, bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya” (1 Yohanes 5:3).

Demikianlah, ini utamanya bukan pertanyaan tentang sebuah hari ataupun sebuah jalan – penurutan lewat kasih, atau ketidaktaatan karena tidak ada kasih. Perhatikan itu dan jangan pernah lupakan! Memelihara Sabat, bahkan Sabat hari ketujuh, adalah sebuah tindakan kesia-siaan kalau itu tidak keluar dari hati yang penuh kasih dan kesetiaan kepada Tuhan. Tanpa adanya kasih, semua pemeliharaan hukum akan menjadi seperti tindakan robot dan menyedihkan, tetapi dengan kasih, setiap perintah menjadi kesenangan dan sukacita. Buatlah hubungan kasih pribadi semacam ini menjadi dasar pemeliharaan Sabat Anda, dan itu akan menjadi hari paling berbahagia dalam minggu Anda sepanjang hidup Anda.

This resource is also available in the following languages: